“I am not
what happened to me, I am what I choose to become.”
– Carl Gustav Jung –
Pada 27 Oktober lalu, saya diundang rekan-rekan sesama hamba
kebudayaan yang tergabung dalam Simocoyo Space untuk membicarakan karya Budi
Darma, Orang-Orang Bloomington. Meski
sudah dua kali diterbitkan, baik oleh Sinar Harapan pada 1980 dan Metafor Intermedia
pada 2004, saya baru membelinya ketika diterbitkan untuk ketiga kalinya oleh
Noura, lini penerbit fiksi dari grup Mizan pada 2016. Baik Orang-Orang Bloomington maupun Budi Darma, keduanya adalah nama
penting. Setiap orang yang hendak mempelajari sastra Indonesia mesti memasukkan nama keduanya dalam
daftar bacaan wajib.
Namun, sebagai pembaca awam, keduanya bukanlah favorit saya.
Gaya penulisan Budi Darma yang minim dialog mungkin menarik. Kemampuannya
menggantung cerita juga diakui sebagai teknik yang tidak semua penulis kuasai. Sayangnya, saya setuju
dengan testimoni Penguin Classic yang tertera di halaman keempat sebelum kumpulan cerpennya
dimulai, bahwa karakter-karakter yang ia gambarkan “terobsesi untuk mengetahui
segala hal tentang orang-orang di sekitar mereka sekaligus gagal untuk menjalin
hubungan yang tulus dengan siapapun” (Budi
Darma 2016: 4).
Berangkat dari testimoni singkat itu, saya kemudian memberi penjelasan mengapa
kegagalan itu terjadi.
Menurut saya, dan ini yang dapat dibaca dengan jelas dari kumpulan cerpennya, karakter-karakter utama dan pembawa narasi yang diciptakan Budi Darma adalah karakter-karakter “tanpa identitas”. Mereka semua menggunakan kata ganti saya, namun tidak menjelaskan siapa dirinya, dari mana asalnya, hingga apa niatnya mendekati komunitas orang-orang Bloomington. Dan untuk itu, dirinya tertolak: dia gagal membuat hubungan baik, tidak dapat bergaul dengan bahkan teman sekamar atau serumah, hingga berakhir menyakiti orang-orang sekitarnya. Penekanan saya untuk mengkritisi karakter-karakter “saya” dalam kumcer itu juga tak lepas dari latar belakang pendidikan pribadi.
Sebagai lulusan antropologi yang sering melakukan kerja lapangan, saya diajarkan untuk jujur. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri pada komunitas yang diteliti dan mendapatkan point of view emik (pandangan masyarakat) alih-alih pandangan peneliti yang notabene orang luar. Kejujuran itu tidak hanya tentang identitas pribadi siapa dan dari lembaga mana peneliti berasal, tetapi juga niat penelitian. Dengan begitu, masyarakat bisa menerima peneliti etnografi-antropologi dengan jujur. Dengan begitu, jawaban-jawaban mereka bukan seperti diwawancarai wartawan atau pejabat publik.
Entah kenapa saya sangat tertarik dengan identitas, sehingga kini tertarik untuk menuliskannya kembali. Namun bukan melalui Orang-Orang Bloomington-nya Budi Darma. Akhir pekan lalu, saya mengunjungi hari-hari terakhir pameran Wetland Milestones di Rumah Budaya Sidoarjo sejak 25 Oktober sampai 3 November 2024. Berniat mencari hiburan dari kesibukan meriset dan mempelajari dasar-dasar ilmu hukum, saya sampai di penghujung rute pameran, menemukan dua lukisan mirip dan berdampingan. Kedua lukisan itu membuat saya tidak hanya berdiri lama, tetapi juga duduk di lantai, menyandarkan ransel ke tembok dan menikmati dengan tenang pemandangan yang tersaji. Kedua lukisan itu, ketika saya dekati keterangan identitasnya, berjudul Refresh; yang kiri Wishes Present Times dan yang kanan For Balance. Kedua lukisan itulah yang hendak saya diskusikan di sini.
Identitas
Refresh
Refresh adalah dua buah lukisan karya A. Priyanto “Ompong”,
pelukis kelahiran Sidoarjo yang belajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta
selama sepuluh tahun (1993-2003). Keduanya berukuran 100 x 120 cm,
sama-sama menggunakan cat akrilik, dan bertarikh 2024. Keduanya juga memiliki
isi yang serupa: menggambarkan seekor kuda dengan penunggang atau penuntunnya
yang memunggungi penonton dan memamerkan punggung telanjangnya.
Perbedaan mendasarnya dapat dilihat melalui beberapa titik. Pertama, Wishes Present Time adalah lukisan berwarna, dalam spektrum hijau, kuning, kecoklatan, hingga hitam, sedangkan For Balance adalah lukisan monokrom antara hitam, putih, dan abu-abu. Kedua, lukisan pertama berorientasi landscape, memaparkan hamparan bentang alam yang lebih luas dengan hamparan air seperti danau atau laut, sedangkan lukisan kedua berorientasi portrait dengan si penunggang atau penuntun yang berdiri dekat kudanya, memandang hamparan pegunungan dan sebuah sketsa rumah di kejauhan.
Refresh: For Balance; Acrylic on Canvas 100x120 cm
2024
Refresh:
Wishes Present Time;
Acrylic on
Canvas 120x100 cm
2024
Kedua lukisan ini sebenarnya tidak hanya memukau, tetapi
juga “berbeda” dibanding karya-karya lain di pameran yang sama. Jika seni
rupa-seni rupa lain abstrak, ramai, dan memiliki intensi politis, saya
memandang kedua Refresh dari A.
Priyanto “Ompong” lebih menenangkan. Pilihan warnanya tidak terlalu beragam,
namun masih bisa memberikan kesan penuh warna. Bahkan untuk For Balance yang monokrom, saya masih
bisa membayangkan warna-warna dari langit kelam, gunung gelap, hingga air
terjun yang mengalir deras. Selain itu, tidak banyak hal terjadi dalam kedua
lukisan itu. Kejadiannya sederhana: seorang penunggang atau penuntun kuda
beristirahat di tengah-tengah bentangan alam sembari menikmatinya, sekaligus
memberi kesempatan kepada kudanya untuk memakan rumput.
Dan mungkin, untuk itulah keduanya diberi nama Refresh: untuk menunjukkan bahwa keduanya beristirahat, menyegarkan diri, untuk memberi mereka jeda waktu agar tidak terus-menerus berjalan, melewati hamparan alam tanpa menikmatinya. Kuda tidak memiliki mekanisme untuk duduk seperti binatang berkaki empat lain, sehingga istirahat pun ia tetap berdiri. Namun, lelaki penunggang atau penuntunnya dilukis dalam dua posisi; duduk dalam Wishes Present Time dan berdiri dalam For Balance. Ketika kuda duduk maupun berdiri, penonton mungkin tidak dapat melihat raut wajah kuda, tapi punggung memiliki mimik yang dapat dibaca; mimik yang gelisah, mimik yang takut, mimik yang kebingungan. Entah karena apa.
Lihatlah bahkan dalam For Balance lelaki botak itu berkacak pinggang seolah-olah lelah mencari sesuatu yang seharusnya di hadapannya, entah arah tujuan maupun objek tertentu. Kaki kanannya bertekuk satu, menyandarkan tubuh pada kaki yang lain. Tidak jauh dari dirinya, sebuah sketsa rumah bergaris putih berdiri sejajar dengan pandangan matanya. Bingungkah ia melihat objek itu berada di sana? Apakah sketsa itu adalah gambaran tujuannya di akhir perjalanan? Saya tidak tertarik menjawab pertanyaan itu. Saya tertarik pada kedua diri kuda dan penunggang atau penontonnya.
Diri
yang Malafungsi
Melihat kedua kuda dan penunggang/penuntun dalam Refresh karya A. Priyanto “Omplong”
mengingatkan saya pada Candido Portinari, pelukis legenda Brasil itu, dalam
beberapa karyanya. Coba tengok Boy with Sheep bertarikh 1956, Chorinho (1942), Tiradentes (1948), War dan Peace (keduanya untuk PBB,
1952),
dan lain sebagainya. Arsen Levonee, seorang seniman dari The Museum of
Fine Arts in Peredelkino, Russia, membuat artikel berilustrasi yang mirip.
Artikelnya membahas tentang seniman besar seperti Michael Duchamp, Alexander Scriabin,
Maya Plisetskaya dan Vladimir Horowitz. Coba juga tengok beberapa lukisan
seperti Untitled oleh Tyab Mehta
(1967/1968),
Rhythmic composition in yellow green minor oleh Roy de Maistre
(1919),
dan The Cathedral oleh František Kupka
(1912 - 1913)
Penyebutan nama-nama di atas dan karya-karya mereka bukan tanpa sebab. Kedua Refresh memang tampak seperti lukisan realis, menggambarkan dengan rinci dan detail hamparan alam sebagai latar belakang kedua objek utama. Begitu pula dengan objek-objek tambahan macam burung gagak, elang, dan kakatua. Namun, objek utama dalam kedua lukisan, digambarkan dengan cukup berbeda. Ada distorsi warna, permainan bentuk yang kaku, namun tidak ketat. Distorsi warna itu yang kemudian membedakannya dari gambaran realis alam sekitar. Melihat kuda maupun penunggangnya, membuat saya sebagai penonton bertanya-tanya, mengapa kiranya digambar seperti itu.
Namun, pertanyaan penting yang sebenarnya adalah: apa yang
terjadi dengan keduanya? Apa yang membuat mereka tampak seperti itu? Ketika saya
mencoba untuk menerka-nerka apa kiranya alasan keduanya terdistorsi dalam
warna, saya kemudian teringat dengan karya animasi populer Spider-Man, yaitu Spider-Man: Across the Spider-Verse (Joaquim Dos Santos, Kemp
Power, dan Justin K. Thompson 2023).
Meskipun sekuel, film ini mengisahkan karakter Spider-Man berkulit hitam bernama Miles Morales (disulih suarakan oleh Shameik Moore) yang berkelana ke berbagai semesta alternatif untuk menemui berbagai macam Spider-Man. Tidak hanya kulit putih, Spider-man lain juga beretnis India, Meksiko, hingga bergaya punk. Sayangnya, jika masuk ke semesta yang berbeda, ia mengalami distorsi temporal yang menyebabkan keberadaan fisiknya terganggu. Dalam filmnya, fenomena itu disebut “glitching” dan diterjemahkan Netflix sebagai malafungsi (menit 52). Untuk mengatasinya, Miles musti mengenakan jam tangan atau gelang khusus. Dan fenomena itulah yang teringat ketika melihat dua objek utama dalam Refresh.
Malafungsi pada diri kuda dan penunggangnya terjadi dalam diri mereka, tidak memengaruhi lingkungan eksternal. Tidak seperti dalam Across the Spider-Verse, tidak ada yang tahu malafungsi yang terjadi dan lingkungan sekitar tidak memperhatikan apapun. Bahkan burung gagak dalam Wishes Present Time bertengger tenang tak terganggu. Itu karena distorsi warna digambar hanya dalam bentuk keduanya, tidak keluar batas-batas diri mereka sebagai manusia ataupun kuda. Distorsi warna itu mungkin menghadirkan diri-diri mereka yang lain, yang tumpang-tindih, bahkan membingungkan. Namun, bagi sekitarnya, keduanya tetaplah makhluk yang tetap, tidak berubah. Bagi alam sekitar, keduanya tidak lebih dari seorang manusia dan seekor kuda.
Mempertanyakan
Identitas
Dalam pengamatan pribadi, perlakuan distorsi warna yang
tidak keluar bentuk itu menunjukkan adanya kebingungan diri. Penonton diajak
untuk tidak hanya memastikan bahwa keduanya adalah objek yang tetap, bahkan
kedua objek itu juga mempertanyakan diri mereka. Terutama, si manusia: lelaki
berkepala botak dan telanjang dada (dalam pandangan penonton, telanjang
punggung). Seperti yang saya katakan sebelumnya, dari punggung itu terbaca
bahasa tubuhnya yang gelisah, yang bingung, yang takut. Dalam Wishes Present Time, lelaki itu duduk di
atas batu, memandangi hamparan alam di hadapannya. Namun, melihat punggungnya
membungkuk, saya yakin tangan kanannya menopang dagu, seolah sudah sejak tadi
ia di sana. Kalau menunggu sesuatu, musti akan ada yang datang padanya. Kalau
beristirahat dari lelahnya perjalanan, maka perjalanan itu musti membuatnya
lelah. Lihatlah ransel perjalanan yang tergeletak di sisi lain dan ia
membiarkannya saja. Ia tidak takut tas itu dicuri. Tak ada seorangpun yang
mengejar atau menyusulnya.
Sampai di sini, saya tampak seperti penulis kisah. Namun sebenarnya, saya mencoba menebak-nebak kisah apa yang bakal terjadi dalam lukisan ini. Jika mengaitkannya dengan For Balance, mungkin ia menuju sebuah rumah sederhana. Tapi juga bisa saja garis-garis putih berbentuk rumah itu memang sesuatu yang berdiri di sana, tidak terganggu maupun diganggu. Dari kedua lukisan itu, saya mengambil sebuah kesimpulan sederhana bahwa lelaki ini bersama kudanya hendak menuju suatu tempat, berhenti sejenak untuk beristirahat dan menata napas, serta, terutama, mengharap kehadiran sesuatu yang dapat benar-benar membantunya mencapai tujuan, atau setidaknya menenangkan distorsi warna yang bergerak dalam tubuhnya.
Lalu, apa alasan perjalanan itu?
Seperti dalam Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma, perjalanan seseorang dilakukan untuk menemukan tempatnya yang tepat. Setidaknya, tempat yang ia harap tepat untuknya. Lihatlah bagaimana tokoh utama dalam kumpulan cerpen itu berusaha sangat keras untuk berkenalan dengan sekitarnya, melakukan pelbagai perbuatan baik dan merencanakan pertemuan yang dalam pandangan orang tak disangka-sangka. Lihatlah bagaimana bahkan jika ia telah diperingatkan bahwa hubungannya dengan orang sekitar akan membuatnya repot dan kesakitan, ia tetap melakukannya.
Maka, hal itu pula yang terjadi pada si lelaki botak itu. Juga kuda yang ia bawa. Mereka pasti lelah dengan perjalanan panjang. Hal seperti itu tak perlu ditanya. Namun tidakkah mereka lelah dengan pertanyaan tanpa henti tentang siapa mereka, apakah mereka cocok dengan sekitarnya, tidakkah mereka lebih cocok berada di semesta lain macam Miles Morales? Keduanya saya yakin ingin pulang. Duduk atau berdirinya mereka untuk istirahat menjadi lukisan agar kita juga beristirahat dari tak lelahnya kita mempertanyakan diri. Siapakah diri kita? Pantaskah kita berada di sini?
Sebenarnya, kutipan di awal tulisan ini tidak benar-benar Carl Jung katakan. Alih-alih kutipan yang sama sekali tidak puitis itu, Carl Jung menjelaskan dalam otobiografinya sebuah pengalaman menemukan otoritas dirinya.
"Aku tahu seketika: kini aku adalah diriku sendiri. Rasanya seperti ada tembok kabut di belakangku, dan di balik tembok itu belum ada ‘aku’. Namun pada saat ini, aku menemukan diriku. Sebelumnya aku juga ada, namun semuanya hanya terjadi padaku. Sekarang, aku terjadi pada diriku sendiri. Kini aku tahu: aku adalah diriku sendiri sekarang, sekarang aku ada. Sebelumnya aku digerakkan untuk melakukan ini dan itu; sekarang aku yang menggerakkan. Pengalaman ini tampak sangat penting dan baru bagiku: ada ‘otoritas’ di dalam diriku."(Carl Gustav Jung 2013: 48)
Prosesnya memang tidak mudah dan semua orang melalui variasi yang berbeda untuk menemukan jati diri mereka. Mereka yang menulis maupun melukis mungkin belum berhenti, baik diri saya pribadi maupun pelukis A. Priyanto “Omplong” sendiri. Untuk itu, jangan lupa menyempatkan waktu untuk istirahat. Kedua Refresh, menurut saya, punya pesan seperti itu.
Referensi
Budi Darma. 2016. Orang-Orang Bloomington. Cetakan Ke-4. Bandung:
Noura.
Carl Gustav Jung. 2013. Memories, Dreams, Reflection:
An Autobiography. disunting
oleh Aniela Jaffe. London: Harper Collins.
Joaquim Dos Santos, Kemp
Power, dan Justin K. Thompson, dir. 2023. Spider-Man: Across the
Spider-Verse.
Sidoarjo, 7 November 2024
Penulis:
Fariduddin Aththar lahir di Sidoarjo, 1998. Lulus dari
Antropologi Universitas Brawijaya.
Comments
Post a Comment