Menilik Linkar, Tiga Kesan dan Sebuah Percikan: (Catatan Kecil Mengunjungi Pameran Tunggal Dwi Duest Bertajuk Linkar)
Mengunjungi pameran seni rupa adalah salah bentuk upaya rehat
dari rutinitas yang membelenggu. Sama halnya dengan berjalan-jalan ke toko
buku, mengelilingi rak demi rak, membaca sampul demi sampul, menghidu bau buku
atau bervakansi ke tempat-tempat wisata, berkumpul dengan orang-orang yang kita
kasihi adalah aktivitas yang menyenangkan. Di sini kita bisa sepakat satu hal,
bahwa kesenian dapat membangkitkan gairah hidup seseorang.
Ada semacam konsepsi umum ketika
membaca filsafat estetika bahwa keindahan suatu karya seni tidak bertumpu pada
objek, melainkan perasaan, kesan, dan pengalaman ketika subjek hadir dan
bersentuhan secara langsung dengan karya seni. Respon yang timbul inilah
memiliki pengaruh kuat pada kejiwaan manusia berdasarkan pada daya tarik yang
dihasilkan dari sebuah karya seni. Di kutub lain memilih untuk berseberangan,
mereka beranggapan bahwa karya seni bisa dinikmati berdasarkan penilaian
subjektif. Karya seni tidak memberikan pengaruh apapun, ia hanya benda mati,
sementara penilaian dan pengamatan subjek menjadikannya hidup dan memiliki
nilai. Apabila menengok dari dua arus besar gagasan estetika ini, pada batas
mana manusia dapat menikmati karya seni?
Lingkar
Pameran tunggal Dwi Duest yang berlangsung di Dewan Kesenian
Sidoarjo menarik animo masyarakat seni rupa Sidoarjo. Banyak dari kalangan
seniman Sidoarjo dan Surabaya yang datang dan memberikan apresiasi atas
terselenggaranya pameran ini. Adapun pameran yang dikuratori oleh Hari Prajitno
ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Dimulai dengan pembukaan pada
tanggal 10 Agustus 2024 dan berakhir pada 12 Agustus 2024.
Tema besar yang diusung Dwi Duest pada pameran tunggalnya
bertajuk Linkar. Merujuk pada
lingkaran, ketika fase hidup seseorang akan terus berputar seperti lingkaran.
Kadang di atas, kadang di bawah. Dalam dunia kesenian, inspirasi berdesing
seperti lingkaran abadi. Mencari celah untuk menembus batas-batas kedalaman
hati dan jiwa. Seperti hidup yang bertalian erat dengan sebab akibat, Dwi
berusaha menawarkan gagasan Linkar
sebagai konsep kesimpulan sementara, proses yang sedang berlangsung,
tarik-menarik antar sudut dan ziarah panjang menuju kalbu.
Saat menyaksikan secara langsung ada tiga kesan yang sangat
membekas. Ketiga kesan itu saling berkelindan, bertabrakan dan chaos. Pertama adalah realisme. Saat
berkeliling mengamati satu demi satu karya Dwi, saya hanyut dalam dunia yang
sedang dibuatnya. Dimulai dengan gambar-gambar wajah, garis dengan kontur
terang membuat setiap goresan menjadi hidup. Dengan berbagai raut, kondisi, dan
ekspresi yang beragam, perupa berusaha memotret peristiwa, menangkapnya dalam
berbagai medium. Mulai dari kanvas, secarik kertas, kardus, buku gambar semua
dikerjakan dengan teknik arsiran yang khas.
Unsur realisme yang kuat dalam lukisan-lukisan Dwi memberikan
kita gambaran prihal aktivitas sehari-hari, gerak sosial di sekiarnya, lanskap
kehidupan yang ia jalani sebagai sumber inspirasi dan medan ekplorasi yang
kaya. Mengigatkan saya pada seniman Yunani Kuno bernama Apelles dari Kos yang
menghabiskan hidupnya untuk menggambar wajah-wajah orang yang ditemui. Ia
menguasai proporsi, memasukkan alegori dan personifasi dalam karyanya.
Lukisannya menggambarkan keadaan masyarakat Kos apa adanya dalam balutan
garis-garis halus, stabil dan simetri membawa para pemirsa masuk dalam ruang
dan perenungan baru. Naasnya, banyak dari lukisan-lukisan Apelles yang menjadi
koleksi pribadi Julius Caesar raib bersama rumah milik sang bangsawan.
Paradoksial
Objek karya seni merupakan hasil pergulatan seniman dengan
lingkungan. Sebagai produk sosio-kultural, lukisan memiliki andil besar dalam
mengungkap realita sosial yang tak sempat disorot lensa kamera. Seringkali,
dalam membaca sebuah lukisan, kita akan dihadapkan pada kondisi paradoksial
yang mengambang. Itulah yang saya rasakan ketika membaca lukisan Dwi dengan
medium karton coklat dengan tiga ilustrasi; perempuan berwajah sendu, kapal
bertengger, dan potret lelaki agak kabur. Sepertinya, Dwi ingin menyajikan
sebuah gambaran kisah cinta yang diambang jarak. Salah satu akan karam, entah
perempuan ataukah kekasihnya. Batu-batu yang ditempelkan membentuk lingkaran
sebagai simbol betapa terjalnya hubungan yang dihadapi.
Batu melingkar sebagai
ornament yang menghiasi lukisan menambah kesan artistik dalam lukisan tanpa
judul tersebut. Inilah yang saya maksud dengan kesan paradoksal. Tiga ilustrasi
utama dengan gaya realisme ditabrakkan dengan susunan batu-batu tak beraturan
menimbulkan kesan absurditas. Personifikasi yang dilemparkan untuk ditafsir
secara beragam membuat saya berada di ambang paradoks. Keselarasan yang
berusaha dibangun kokoh di awal ditabrakkan dengan situasi baru yang sifatnya
kontradiktif. Secara tidak langsung kesan yang timbul adalah paradoks harmoni.
Kebenaran apa yang sebenarnya ingin diungkap oleh perupa?
Tiga Anasir
Kebetulan yang menyenangkan adalah kesempatan mengobrol
dengan sang pelukis jebolan DKV Institut Teknologi Surabaya. Beberapa pertanyaan
saya ajukan terkait karyanya. Setidaknya ada tiga anasir yang dapat
direpresentasikan dalam membaca Dwi Duest: karikatural, ilustrasi dan doodle.
Saya sepakat dengan tiga anasir yang disampaikan Dwi Duest. Setidaknya tiga
unsur ini yang mempengaruhi kuat hampir seluruh karyanya. Dengan pola
karikatur, ia merambah ke berbagai bentuk. Selain pengembangan dari ilustrasi,
lewat karikatur, ia bisa membuang jauh-jauh stempel realisme pada dirinya.
Ditambah dengan pola doodling, yang
membebaskan Dwi dari belenggu keserasian atau harmoni yang terkadang membatasi
seniman. Ia memasukkan ketiga anasir tersebut dan meramunya menjadi gaya yang
khas.
Daya Tarik karya Dwi terletak pada kesederhanaannya dalam
menyampai pesan. Lewat pertanda yang disebar dengan jala visualisasi imaji, ia
memperoleh berbagai respons dan apresiasi dari para hadirin. Ada hal yang luput
diperhatikan Dwi, dan ini sedikit fatal, kealpaan nama dari setiap lukisan yang
ada dalam pameran. Sehingga pengunjung pameran merasa kesulitan dalam meneroka
hasil karya Dwi Duest. Atau memang ini merupakan strategi estetis yng berusaha
ia tawarkan kepada khalayak seni rupa Sidoarjo?
Tafsir Eve
Tentu, membaca Dwi tidak bisa dibaca secara parsial tanpa
melihat latar belakang akademik yang mengambil Desain Komunikasi Visual. Secara
tak sadar, karya Dwi banyak menggunakan anasir tipografi berupa catatan
pribadi, sajak, puisi, penomoran, hingga titimangsa. Berikut di antara unsur
tipografi berupa sajak yang terbaca:
Aku pulang
Ia yang aku sebut rumah
Dunia yang terlalu
mendesing
Sudah cukup melihat
Teligaku lelah
Bait puisi ini terlampir di ujung kanan lukisan dengan model
seorang penari remo dengan senyum merekah. Lukisan ini begitu ramai. Potret
harimau menerkam, perempuan dengan sayap mengembang, dua lelaki menunduk tanpa
wajah,serta garis, guratan, arsiran bolpoin, pensil, cat air yang saling
memantulkan semesta tafsir. Ada semacam plot yang berusaha dibangun untuk
menarasikan hubungan tubuh perempuan di hadapan realitas budaya Jawa dalam
simbol penari Remo. Dwi berusaha membebaskan tubuh perempuan dari stigma negatif
yang berkembang di kalangan masyarakat dengan kultur patriarkis. Pertanyaannya
adalah apakah tipografi puisi yang berisi tentang pencarian makna pulang dengan
narasi tubuh perempuan memiliki korelasi saling membangun atau justru hanya
sebagai pelengkap sajian visual saja tanpa menimbang fungsi estetika secara
fundamental?
Tafsir Eve
Ada sekitar 4 karangan Dwi yang mengandung unsur perempuan telanjang. Melalui guratan dan detail memikat, Dwi merepresentasikan ketelanjangan perempuan sebagai perlawanan terhadap stereotip, stigma negatif dan objektivikasi tubuh perempuan. Upaya demistifikasi tubuh perempuan yang hanya dipandang sebagai objek seksual, pemuas nafsu, diejawentahkan dalam ilustrasi perempuan dengan berbagai pose telanjang.
Modernisasi membawa manusia dalam kondisi simulacra; manusia diarahkan pada dunia
citraan yang mampu memberikan kepuasan pada hasrat-hasrat pemilikan tanda.
Baudillard menambahkan, masyarakat akan digiring pada fetisisme terhadap
materi, produk, dan komoditi yang berpangkal pada kapital. Hal ini
mengakibatkan banjirnya budaya konsumerisme akut masyarakat urban.
Dampak yang sama terjadi pada anggapan bahwa tubuh perempuan
adalah materi yang bebas diekploitasi. Penghapusan identitas, akal, subjek, dan
jiwa perempuan secara ugal-ugalan. Inilah yang berusaha digugat oleh paham
kesetaraan gender. Sepertinya, Dwi memposisikan karyanya sejalan dengan
ideologi feminisme.
Dalam tradisi islam, terdapat kisah Adam dan Hawa. Keduanya
adalah manusia pertama yang diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi. Mereka
menghuni surga Firdaus. Sebelum mereka dibuang dari surga akibat melakukan dosa
dengan memakan buah khuldi atas hasutan iblis. Dalam keadaan telanjang, mereka
turun ke bumi. Inilah asal mula kehidupan.
Di tengah-tengah obrolan singkat dengan Dwi, saya menanyakan
perihal apa yang melatarbelakangi terciptanya imaji perempuan telanjang dalam
karyanya. Ia menyitir, “Ketelanjangan adalah kembali ke fitrah. Kita lahir
telanjang, mati dalam keadaan telanjang. Saya sangat terpengaruh dengan kisah
Adam dan Eve. Asal mula penciptaan berawal dari ketelanjangan.”
Ketelanjangan tubuh perempuan dalam karya Dwi mencoba
merekonstruksi imaji dari kisah-kisah Eve dengan penafsiran yang mengarah pada
kesucian. Inilah keindahan yang direfleksikan dari karya seni membawa kita pada
pengalaman spiritualitas yang mengarah pada keagungan sifat jamaliyyah dan jalaliyyah dzat maha indah.
Pada karya lain, Dwi melakukan eksperimen dari pembacaan mendalam atas buku babon Babad Tanah Jawi dalam berbagai versi berupa intertekstual teks naskah Jawa dan dialihwahanakan ke dalam bentuk lukisan. Inilah membuat saya semakin yakin, dalam proses kreatif tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari renungan imajinasi, keterpengaruhan pada gagasan, ide, bacaan, ideologi, karya dan rangkaian peristiwa yang seniman alami.
Inilah percikan api yang coba dinyalakan Dwi Duest dalam karyanya. Menambah kesan perenungan mendalam dalam diri saya. Setidaknya, api kecil yang berusaha dinyalakan oleh Dwi melalui pameran bertajuk Linkar ini membawa pesan agar meneruskan dan membuat ledakan yang lebih besar lagi. Terutama demi kemajuan seni budaya Sidoarjo dan sekitarnya. Yalla!
Sidoarjo, 15 Agustus 2024
Penulis:
M. Fahruddin Al
Mustofa. Alumni
Universitas Hassan Tsani, Maroko. Arsiparis amatir yang bergiat di Simocoyo
Space.
Comments
Post a Comment