Dangdut, salah satu jenis atau genre musik yang populer dalam perkembangannya hingga saat ini. Jika melihat dari satu sudut pandang, maka cenderung pada penilaian yang “low impact on quality” atau secara lugas dapat diartikan bahwa musik dangdut berdampak rendah dalam kualitasnya. Maksudnya adalah bahwa musik dangdut ini dipandang sebagai musik yang rendah kualitas dan tidak terlalu membawa dampak yang positif. Belum lagi jika ada tendensi tertentu dalam sentimentil penilaian tersebut. Sebab, tendensi sentimentil penilaian itu bukan lagi secara objektif mengarah pada musiknya, namun sangat subjektif pada manusianya ; talent, manajemen, kelompok dan organisasi.
Dangdut pada awal perkembangannya merupakan jenis musik yang berkualitas, baik itu dari music form-nya dan juga penggunaan lirik-lirik lagunya. Namun dalam perjalanan proses dan perkembangannya kira-kira salam masa 20 tahun terakhir, musik dangdut terpaksa masuk dalam popularitas eksploitasi manusianya, yakni penyanyi dangdut. Bukan berarti kualitas musiknya menurun, namun musik dangdut hanya dianggap dan digunakan sebagai pelengkap syahwat. Dalam psikologi musik kemudian disebut dengan istilah “perilaku musikal/musical behavior”.
Perilaku musikal merupakan kebiasaan yang terbentuk dari kebiasaan musik yang dikonsumsi. Contoh: perhatikan perbedaan jika seseorang pergi dan datang untuk menonton orkestra musik klasik dengan yang datang dan menonton musik dangdut hari ini. Dari cara berpakaian, bahasa tubuh, cara berbicara, gerak gerik, cara menonton, tingkah laku saat menonton, hingga dampak psikologis pada perilaku yang berkesinambungan. Dangdut, identik dengan “low musical behavior” sehingga para penggemar musik dangdut cenderung dianggap dari kalangan yang rendah kualitas dan kalangan menengah kebawah. Hal ini kemudian menjadi indikator bahwa dangdut masuk dalam ranah musik atau lagu rakyat (folk song). Hal ini perlu mendapat tanggapan yang serius sebab entitas musik rakyat akan membentuk budaya dalam masyarakat. Sekalipun terkandung aspek “indigenous” dan terbelakang (dulu disebut “primitif”), namun musik dangdut dapat melekat erat dalam sosialitas ikatan geografis, etnik, dan tradisinya.
Bisa dikatakan bahwa musik dangdut telah menjadi salah satu budaya dalam masyarakat di negeri ini. Berbagai kegiatan sehari-hari hingga acara-acara tertentu di masyarakat syarat dengan musik dangdut. Betapa tidak, dari ulang tahun, pernikahan hingga pengajian, semua menggunakan musik dangdut sebagai bentuk kemeriahan, tanpa terkecuali. Sadar atau tidak, budaya musik dangdut telah membentuk perilaku-perilaku tertentu dalam masyarakat. Tidak hanya masyarakat menengah kebawah, namun juga telah masuk ke tingkat kalangan yang tertinggi.
Dari perkembangan musik dangdut hingga membudaya di masyarakat, tentunya menjadi peluang besar untuk menggerakkan dangdut dalam dunia bisnis. Tidak hanya bisnis pertunjukan musik, melainkan dapat menjadi “booster” bagi bisnis yang lain. Seperti bisnis karaoke, properti, hiburan, prostitusi, makanan, minuman, politik, dan banyak lagi. Maka tidak heran jika musik dangdut cukup mempunyai ‘power’ sebagai sarana intervensi sosial. Terlepas dari kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan politik praktis, jelas bahwa musik dangdut mampu menjadi “alat yang canggih” untuk sebuah kepentingan.
Sebagai seorang Musikolog dan sekaligus salah satu pengurus Dewan Kesenian Sidoarjo dalam Bidang Kebudayaan, Aji Kelono menjelaskan bahwa masyarakat dituntut cerdas dalam memilih dan memilah. Secara umum, batasan usia sangat penting dalam mengkonsumsi musik dangdut. Salah satu contoh konkrit yaitu bahwa dalam dunia pendidikan, karakter seni anak-anak memang belum sesuai untuk mengkonsumsi musik dangdut, khususnya yang sedang berkembang saat inu. Sebab cenderung akan membentuk perilaku yang kurang sesuai dengan tingkat intelektual pada usia anak-anak. Pihak orang tua harus mampu memahami dampak yang kurang sesuai untuk anak. Perkembangan media sosial sulit terbendung, perlu adanya perhatian khusus agar anak-anak dikontrol terkait musik apa yang mereka konsumsi. Selain menimbulkan ketakutan akan komersialisasi kebudayaan, musik dangdut juga telah dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda massa.
Aji Kelono juga menjelaskan bahwa institusi Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) sebagai representasi “dulure seniman darjo” juga perlu memperhatikan hal ini. Pandangan dan wawasan terkait perkembangan musik dangdut perlu dicermati. Hal yang paling mendasar yang dapat dilakukan oleh Dekesda adalah bagaimana mengapresiasi musik dangdut secara objektif. Banyaknya kelompok atau organisasi yang bergerak dalam rangka membesarkan musik dangdut di Sidoarjo tidak terlelakkan. Sebab Sidoarjo menjadi salah satu Kabupaten di Indonesia yang cukup mampu membuahkan talenta musisi dangdut ternama di tanah air. Disamping bergerak membesarkan musik dangdut, kelompok atau organisasi musik dangdut juga turut mempromosikan daerah. Sekalipun mereka tidak lepas dari bisnis dan jejaring relasi dalam unsur Pemerintah Daerah.
Dewan Kesenian Sidoarjo harus mampu menempatkan strategi dalam kaitannya dengan kolaborasi bersama para penggerak musik dangdut. Subjektifitas dalam hal ini bisa saja terjadi. Namun secara objektif, Dekesda perlu berkolaborasi dengan berbagai unsur penggerak seni di Sidoarjo sehingga dituntut mampu menguasai strategi kolaborasi yang apik. Sehingga Dekesda pada saatnya nanti dapat benar-benar menjadi representasi “dulure seniman darjo” yang sesungguhnya.
Kesenian akan berkembang sesuai dengan jaman. Berbagai dampak, baik itu positif dan negatif akan selalu beriringan. Kesenian tidak untuk saling memecah belah dan bermusuhan. Kesenian bukan sesuatu yang subjektif dalam sudut pandang. Kesenian akan selalu berada bersama rakyat, berada dalam kerakyatan dan populer. Kesenian akan selalu membentuk “popular culture”. Secara mutakhir budaya populer dapat dibuat oleh mereka yang memiliki kepentingan mereka sendiri yang tentunya akan terjadi perbedaan kepentingan dalam implikasinya dengan budaya rakyat.
Persoalan-persoalan inilah yang masih banyak dibicarakan dan diperdebatkan sampai sekarang dalam kajian budaya populer. Berbagai permasalahan perlu mendapat perhatian yang sistematis dan penting dalam berbagai kajian soal budaya massa yang mulai berkembang pesat sejak dasawarsa 1920-an keatas.
Namun demikian, hendaknya para pelaku seni dapat lebih bijak dalam berekspresi dan berpendapat. Sekalipun tidak semua perlakuan terhadap kesenian dapat dinilai secara positif, setidaknya pada titik minimal kita harus memahami bahwa seni rakyat lahir dari bawah. Ia merupakan suatu ekspresi spontan dan asli dari rakyat kebanyakan, dibentuk oleh mereka sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga nyaris tanpa memanfaatkan Budaya Tinggi. Itulah kenyataannya.
Sebagai cendikiawan seni, sudah sepatutnya ini menjadi sebuah ikhtisar ringkas yang berkenaan dengan bagaimana perspektif ini memandang perbedaan antara kaum elite, rakyat jelata, dan budaya massa. Perlu ada pertimbangan secara lebih utuh untuk berbagai implikasi perbedaan yang memuat makna gagasan budaya massa.
#ajikelono
Aji Kelono, Musikolog sekaligus Ketua Bidang Kebudayaan Dewan Kesenian Sidoarjo
sumber : https://radarsidoarjo.jawapos.com Nyadran di Desa Balongdowo terdiri atas 7 tahapan penting sebagai cara mengungkapan rasa syukur. Tahap pertama, yaitu tahap persiapan. Pada malam sebelum pemberangkatan, warga Balongdowo mempersiapkan keperluan prosesi mulai dari makanan, biasanya mengolah kupang, tumpeng, dan menghias perahu. Tahap kedua adalah tahap pemberangkatan, meliputi iring-iringan tumpeng ke tepi sungai dan berdoa memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Setelah acara pembuka, barulah perahu Nyadran memulai perjalanan menuju Desa Sawohan, Dusun Kepetingan. Tahap ketiga yaitu tahap pembuangan seekor ayam. Ketika perjalanan, anak balita yang mengikuti Nyadran diberi seekor ayam hidup untuk dibuang di muara Kalipecabean agar anak balita tidak kesurupan. Tahap keempat, melarung tumpeng di muara Clangap (pertemuan antara sungai Balongdowo, sungai Candi, dan sungai Sidoarjo). Hal ini bertujuan agar para nelayan pencari kupang diberi keselamatan saat melaut. Namun, melarun...
Comments
Post a Comment